MALAIKAT BERCADAR
Friday, January 31, 2020
Add Comment
Oleh : Irene Radjiman
Inara baru saja pulang dari
sharing di sebuah kajian di kota B. Seperti biasa ia selalu ditemani oleh
suaminya. Dari kota
B mereka akan pulang menuju kota S tempat mereka tinggal. Biasanya mereka
melewati kota P, di mana Inara dan suami sering sekali melewati kota P dan
mereka paham bila selepas maghrib akan ada banyak ukhti yang berpakaian
minimalis dengan bedak tebal dan bibir merah merekah bak kelopak mawar,
berjejer dipinggir jalan atau di warung kecil dengan cahaya lampu
remang-remang. Mereka biasa melambaikan tangannya pada setiap mobil mewah yang
melintas, atau motor yang mereka lihat hanya ditumpangi oleh seorang pria.
Yaaa kalian pasti tahu siapa para
ukhti itu. Maaf jangan ada yang protes bila saya memilih menyebut mereka dengan
sebutan "ukhti" sebab arti kata ukhti adalah "saudara
perempuan" bukan ?
"Abi, bagaimana bila kali
ini amplop dari kajian ini kita berikan pada salah satu ukhti yang biasa
berdiri dipinggir jalan kota P nanti?" tanya Inara pada suaminya. Sang
suami melambatkan laju mobilnya.
"Kenapa ummi memilih salah
satu dari mereka ?" suaminya balas bertanya.
"Entahlah, bi, ummi tidak
tahu kapan terakhir kali mereka memakan makanan halal. Jangan-jangan ada salah
satu dari mereka yang sedang menafkahi anak yang sedang belajar agama."
"Bagaimana ummi bisa
berpikir bahwa ada di antara mereka yang memberikan pendidikan agama untuk
anak-anaknya ?"
"Sejahat-jahatnya mafia, dia
akan pilihkan hal-hal baik untuk buah hatinya, bi. Sebab mereka manusia bukan iblis."
Sejurus suami Inara terdiam. Ada
amplop berwarna coklat yang tergeletak di jok belakang. Inara sering sekali
diundang di sebuah acara ataupun di sebuah kajian sebagai narasumber. Banyak
yang memanggilnya ustadzah, namun Inara selalu klarifikasi "Saya bukan
ustadzah." Ia lebih nyaman dipanggil dengan sebutan "mbak" atau
"bunda".
Inara tidak pernah tahu, berapa
isi amplop yang selalu diselipkan oleh panitia di setiap bingkisan yang selalu
dibawakan untuknya. Inara dan suami sudah sepakat, tidak mau tahu jumlah
nominalnya. Uang dari ummat akan kembali untuk ummat. Amplop itu biasanya akan
diberikan pada siapa saja di mana hati Inara tergerak untuk memberikannya. Bisa
diberikan untuk tukang becak, kuli panggul, pemulung, gepeng, siapa sajalah.
Namun entah kali ini hati Inara tergerak untuk memberikannya pada salah satu
ukhti yang berdiri di pinggir jalan sepanjang jalan kota P.
"Abi, tolong berhenti di
sana, di tempat ukhti yang berdiri sendiri itu !" tunjuk Inara.
"Perempuan yang pakai baju
merah itu ?"
"Iya."
Suami Inara menghentikan mobilnya
tepat di hadapan wanita itu. Wanita itu reflek mendekat dan mengetuk kaca
mobil. Kaca mobil dibuka. Wanita itu nampak terkejut melihat wanita bercadar
berada di samping pria yang cukup terbilang tampan yang berekspresi lurus di
belakang stir kemudi. Wanita itu tersenyum kikuk sambil surut beberapa langkah
ke belakang. Inara mengambil amplop coklat di jok belakang. Inara turun dari
mobil sambil tersenyum. Namun wanita itu tak melihat senyuman bibir Inara di
balik cadar.
"Assalamualaikum,
mbak." sapa Inara.
"Wa'alaikumussalam."
wanita itu menjawab sambil menatap lekat Inara. Seolah bingung apa keperluan
wanita bercadar itu pada dirinya.
"Maaf mbak, ini ada rejeki
dari Allah. Saya tergerak untuk memberikannya pada mbak. Saya tidak tahu berapa
nilai nominalnya, tapi saya berharap rizki ini akan membawa keberkahan bagi
mbak sekeluarga. Mohon diterima ya mbak." Inara mengulurkan amplop coklat
ke arah wanita itu. Wanita itu tidak segera menerimanya.
"Apa ini mbak ?"
tanyanya pada Inara.
"Tadi saya baru mengisi
kajian di kota B. Ini adalah amplop yang diberikan oleh panitia pada saya. Saya
tidak pernah membuka ataupun menggunakan amplop ini, saya biasa memberikannya
pada siapa saja melalui gerakan hati saya."
"Apakah mbak tahu siapa saya
?'
"Memangnya mbak siapa
?"
"Saya ini wanita jalang
mbak. Begitulah sebutan yang disematkan orang-orang pada manusia seperti saya.
Itu adalah uang dakwah, saya tidak pantas menerimanya. Bawa kembali saja uang
itu." Bibir merah wanita itu bergetar saat menjawabnya.
"Saya juga bukan orang suci
mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ?
Saya ini sama dengan mbak. Di mana hati saya adalah milik Pencipta kita dan
berada di dalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa Sang Pemilik Hati
saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."
Wanita berbedak tebal itu
terjongkok, menangis tergugu. Eye liner yang ia gunakan sampai luntur. Inara
mendekat, merengkuh pundaknya. Diraihnya tangan wanita itu, digenggamkannya
pada amplop coklat yang ia bawa.
"Semoga yang ada di dalam
amplop ini bisa menjadi pintu rejeki yang barokah bagi mbak sekeluarga dan
mengeluarkan mbak dari ketidakhalalan selama ini. Saya mohon pamit ya mbak.
Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Jawabnya masih dengan terisak.
Inara melangkah menuju mobilnya.
Sekuat tenaga ia tahan tetesan embun hangat yang sudah menggenang pada telaga
matanya.
********************************************************************************************
Namaku Amidah. Aku janda yang
memiliki 4 orang anak. Aku terjebak sebagai kupu-kupu malam sebab dijual oleh
suamiku yang sudah mabok judi dan miras. Namun akhirnya aku terbiasa dengan
pekerjaan ini walau kini suamiku telah meninggal karena over dosis miras.
Walau aku pekerja haram, namun
aku tak ingin anak-anakku kelak akan sebejat aku dan ayahnya. Walau banyak
gunjingan tidak sedap dari tetangga sekitar, aku tetap ikut sertakan
anak-anakku pada pengajian musholla di dekat kontrakanku. Anakku yang paling
besar sudah kelas 6 SD, sudah bisa mengurus adik-adiknya bila kutinggal.
Sudah seminggu ini aku tidak
menjumpai pelanggan satupun. Yah aku bukan PSK kelas kakap yang biasa dibayar
puluhan juta per jam. Aku hanyalah PSK kelas teri yang hanya dibayar 100 - 200
ribu per malam. Bahkan bisa banting harga lebih murah bila sedang sepi pelanggan.
Yah... segitulah harga tubuhku. Seminggu ini kami hanya makan nasi dan rebusan
daun pepaya yang tumbuh subur di belakang kontrakanku.
Sore itu aku hanya memiliki
selembar uang 20rb. Saat hendak berangkat mangkal seperti biasa, kulihat ada
seorang anak bertubuh kurus dan kumal berlarian dikejar oleh 2 orang laki-laki
dan perempuan. Anak itu kulihat bersembunyi di balik semak-semak. Tapi malang,
bocah itu ketahuan. Si laki-laki yang mengejar, tanpa ampun menyeret bocah itu
keluar dari semak-semak. Si wanita entah isteri laki-laki itu atau siapanya
sudah siap hendak memukul bocah itu. Reflek aku berlari ke arah mereka.
"Stop ! ada apa ini !"
"Dia maling !" kata si
laki-laki
"Iyaa... setan kecil ini
sudah maling dagangan kami !" si wanita tak kalah sengit.
"Memangnya dia sudah maling
apa ?" tanyaku.
"Heh setan maling keluarkan
barang curianmu !" bentak si wanita. Dengan ketakutan bocah cilik itu
mengeluarkan 2 bungkus makanan. Mungkin isinya nasi dan lauk.
"Nah ini ! saya lagi
bungkusin nasi ini buat pesanan, baru ditinggal sebentar ke dalam sudah
dimaling sama setan ini !" si wanita itu kembali menimpali.
"Maaf bu, adik saya lagi
sakit di rumah, sudah 3 hari nggak ada makanan, saya cuma minta 2 bungkus buat
kedua adik saya." kuperhatikan bocah itu. Sepertinya seumuran dengan
anakku yang nomor 3. Aku tiba-tiba teringat anakku. Lalu kudekati wanita
penjual nasi itu.
"Berapa harga 2 bungkus nasi
itu ?"
"20 ribu !" Jawabnya
ketus. Kuambil uang 20 ribu semata wayangku di balik dompet. Kuserahkan pada
wanita penjual nasi itu. Akhirnya ia lepaskan bocah kurus kumal itu dengan
kasar.
"Awas ya kalo kamu berani
maling lagi !" Katanya mengancam, sambil berlalu.
"Terimakasih, tante."
Kata bocah itu menunduk sambil terus mendekap 2 bungkus nasi yang ia dapat dari
warung.
"Jangan mencuri lagi ya,
dek. Semoga adikmu segera sembuh." Bocah itu mengangguk, kemudian berlari
secepat kilat dari hadapanku.
Saat anak itu berlalu aku kembali
melanjutkan langkahku. Kuhidupkan sebatang rokok untuk mengusir kegalauanku.
"Ya Tuhan, daun pepaya di
belakang kontrakan sudah habis. Uang 20rb semata wayangku pun sudah tidak ada.
Dengan apakah esok hari anak-anakku akan makan Tuhan ?! Mengapa setetes rizki
harampun tak mudah kudapatkan ?"
Tiba-tiba mobil yang cukup mewah
berhenti di hadapanku. Mataku berbinar penuh harapan. Aku langsung mendekat dan
kuketuk kaca mobilnya. Saat kaca mobil itu terbuka langkahku langsung surut
beberapa langkah ke belakang. Kulihat seorang pria tampan di balik kemudi,
namun di sampingnya kulihat ada malaikat bercadar. Malaikat bercadar itu
mengambil sesuatu di jok belakang mobil lalu keluar membawa amplop berwarna
coklat. Amplop itu ia berikan padaku. Aku sempat menolak, sebab aku tahu itu
adalah uang dakwah. Tanganku terlalu kotor untuk menerima amplop yang di dalamnya
berisi infaq dari orang-orang beriman. Namun malaikat itu justru mengatakan
sesuatu yang membuatku menangis tergugu.
"Saya juga bukan orang suci
mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ?
Saya ini sama dengan mbak. Di mana hati saya adalah milik pencipta kita dan
berada di dalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa sang pemilik hati
saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."
"Ya Tuhan... benarlah dia
malaikat yang KAU kirim untuk menunjukkan betapa KAU sangat mencintaiku !"
Aku langsung bergegas pulang. Di
dalam kamar kubuka isi amplop coklat itu. Kuhitung lembar demi lembar kertas
berwarna merah itu. Li... lima... ju... juta.... !!! 5 JUTA !!! Seumur hidup
aku belum pernah memegang uang cash sebanyak ini !!! Ya Allah !! benarkah ini
!! Ampuni aku ya Allah !! Aku pendosa menjijikkan ini KAU beri tunai hanya
karena kuberikan lembaran uang 20 ribu, satu-satunya lembaran yang kupunya di
hari ini pada bocah kurus kumal itu. Ahh siapakah bocah kurus kumal itu? Aku
juga tak tahu.
****************************************************************************************
Aku Muhammad Yahya. Usiaku 12
tahun. Sejak aku duduk di bangku kelas 4 SD aku sudah tahu apa yang dikerjakan
oleh ayah dan ibuku. Sindiran tetangga sudah tidak asing lagi bagiku. Namun
ibuku seperti tidak ingin kami tahu apa yang sudah ia lakukan bila pulang
tengah malam. Ibu selalu berkata padaku,
"Yahya mengajilah yang rajin. Allah Maha Penyayang. Do'akan ibu agar Allah mengasihani ibu yang bodoh ini. Ibu banyak salah pada Allah".
Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku menangis. Setelah menidurkan adik-adikku, aku selalu melakukan sholat sunnah taubat dan witir. Aku minta Allah mengasihani ibu dan membukakan pintu ampunanNYA bagi ibu. Setelah itu aku membaca Qur'an sambil menunggu ibu pulang. Ibu tidak tahu kalau setiap bulan aku selalu khatamkan Al-Quran. Aku selalu menangis setiap kali membaca Qur'an dan membayangkan apa yang sedang ibu lakukan di luar sana untuk menghidupi kami berempat.
"Yahya mengajilah yang rajin. Allah Maha Penyayang. Do'akan ibu agar Allah mengasihani ibu yang bodoh ini. Ibu banyak salah pada Allah".
Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku menangis. Setelah menidurkan adik-adikku, aku selalu melakukan sholat sunnah taubat dan witir. Aku minta Allah mengasihani ibu dan membukakan pintu ampunanNYA bagi ibu. Setelah itu aku membaca Qur'an sambil menunggu ibu pulang. Ibu tidak tahu kalau setiap bulan aku selalu khatamkan Al-Quran. Aku selalu menangis setiap kali membaca Qur'an dan membayangkan apa yang sedang ibu lakukan di luar sana untuk menghidupi kami berempat.
"Ya Allah kasihanilah ibuku,
lindungilah ia selalu, bukakanlah pintu ampunanmu bagi seluruh
dosa-dosanya."
Entah bagaimana cara Allah
menjawab do'a - do'aku. Kini yang kutahu, ibu sudah tidak lagi mengenakan
pakaian mini. Ia menggantinya dengan jilbab, walau belum sempurna. Sudah tak
pernah lagi keluar malam dan aku sudah tidak pernah lagi melihat ibu merokok.
Kini kami telah memiliki warung sembako. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa
mengecap rizki halal. Ketika kutanya, dari manakah ibu dapatkan modal untuk
membuka warung sembako?
Ibu menjawab, "Rizki halal dari langit yang dikirim melalui malaikat bercadar."
Ibu menjawab, "Rizki halal dari langit yang dikirim melalui malaikat bercadar."
Aku mengernyitkan kening.
"Iya benar, ibu sendiri
tidak pernah tahu, seperti apakah wajah malaikat itu."
*************************************************************************************
Sore itu selepas ashar,
"Ustadzah Riska !" Inara memanggil dengan nada berbisik setengah berteriak. Ustadzah Riska menoleh.
"Ustadzah Riska !" Inara memanggil dengan nada berbisik setengah berteriak. Ustadzah Riska menoleh.
"Aku Inara." Inara
langsung mendekat.
"Oohh bunda Inara ! kok bisa
ada di sini, habis dari mana ?"
"Aku mencari rumah wanita
ini." Inara menunjuk foto seorang wanita di layar hp. Saat dulu Inara
memberikan amplop coklat itu, suaminya sempat memotret dari dalam mobil tanpa
sepengetahuan siapapun. Hanya Tuhan yang tahu.
"Ooohhh ini bu Amidah. Oohh
jangan-jangan bunda adalah wanita bercadar yang dia ceritakan itu ?"
"Memangnya dia cerita apa
pada ustadzah ?"
"Dia bercerita banyak,
intinya dia minta pendapat saya, uang 5 juta itu baiknya digunakan untuk apa ?
dia ingin mengakhiri dunia kelamnya. Saya sarankan untuk membuka warung
sembako."
"Uang 5 juta ?" Inara
mengulang.
"Iya bunda, isi amplop itu
uang 5 juta."
"Kenapa bu Amidah minta
pendapat pada ustadzah ?"
"Sebab anak-anak bu Amidah
mengaji pada saya. Anaknya yang sulung juga pernah bercerita banyak hal tentang
ibunya dan juga tentang uang dari langit yang diberikan oleh malaikat
bercadar."
"Malaikat bercadar?"
"Iyaa, begitulah bu Amidah menyebut
anti, bunda Inara. Oh ya sekarang bu Amidah telah mulai berjilbab bunda."
Hati Inara tersentak. Ada yang melonjak di sudut hatinya. Matanya berkaca -
kaca menatap lekat mata bening ustadzah Riska. Sore itu ustadzah Riska
menceritakan banyak hal perihal bu Amidah dan Yahya. Sebelum berpamitan Inara
berpesan sesuatu pada ustadzah Riska.
"Ustadzah, mohon rahasiakan
identitas malaikat bercadar. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan beliau
saat ini. Namun informasi dari ustadzah sudah lebih dari cukup bagi saya. Mohon
kiranya ustadzah berkenan meneruskan tangan saya untuk membimbing bu Amidah
agar tidak kembali tergelincir ke lembah kelam."
"Baik bunda, insyaa
Allah."
Dalam perjalanan pulang, Inara
bergumam dalam hatinya,
"Ya Allah benarlah, ENGKAU memang membenci perbuatan dosa, namun ENGKAU tidak membenci pendosa. KAU selalu ulurkan tangan bagi mereka yang bersedia untuk KAU angkat."
"Ya Allah benarlah, ENGKAU memang membenci perbuatan dosa, namun ENGKAU tidak membenci pendosa. KAU selalu ulurkan tangan bagi mereka yang bersedia untuk KAU angkat."
Kita tidak pernah tahu ada
tangisan apa di balik tawa. Kita juga tidak pernah tahu ada kebahagiaan apa di
balik tangisan.
Barokallahu fiikum.
NB :
Tak perlu bertanya ini nyata atau tidak. Anggap saja ini kisah fiksi. Bila ada
kesamaan nama dan peristiwa itu hanyalah kebetulan saja.
0 Response to "MALAIKAT BERCADAR"
Post a Comment